Diary Perjalanan Ikhwah
November 04, 2013
Musim semi kini telah tiba
Bunga-bunga bermekaran
Di sepanjang jalan warna berganti
Segar asri berseri…dihati….
“Aku ingin keluar dari
jamaah ini!”, sepotong kalimat terlontar dari seorang ikhwah. Bukan untuk yang
pertama kali, namun sudah tak terhingga kalimat ini mengiang ditelinga kita.
Bukan pula yang terakhir kali, karena inilah sunatuddakwah. Pernyataan ini
senantiasa
membekas di setiap zaman, di setiap episode dakwah, dari zaman kenabian sampai hari kiamat.
membekas di setiap zaman, di setiap episode dakwah, dari zaman kenabian sampai hari kiamat.
“Silahkan akhi…silahkan
Ukhti…”,jawab seorang ikhwah menimpali. Beberapa dari kita mempersilahkan
kepergian saudara dari barisan ini dengan sikap biasa-biasa. Sikap yang lahir
dari pemahaman bahwa hal ini merupakan sunnah dakwah, bahwa akan selalu lahir
ikhwah-ikhwah baru, mujahid-mujahid baru, bahwa islam akan tetap terpelihara
sehingga tidak pantas barisan ini merengek-rengek demi menahan kepergian
seseorang, bahwa seleksi alam berlaku untuk membersihkan orang-orang yang
barangkali kurang pantas mengemban amanah ini. Sikap ini tidak salah, banyak
yang menerapkan dengan apa adanya, maka akhirnya tidak sedikitlah yang
benar-benar mundur dari barisan ini.
Saat kita bersemangat,
memiliki level iman yang stabil atau sedikit lebih baik, kita seolah-olah
melihat saudara kitapun seperti kita. Menerapkan standar stabilitas keimanan
kita kepada saudara-saudara kita, atau bahkan adik (ikhwah baru) kita. Maka,
ketika kondisi saudara kita tidak stabil, sedang mengalami fluktuasi iman,
futur, kitapun menganggapnya sebagai kader manja. Kita melihatnya dengan
perspektif berbeda dengan apa yang dirasakannya atau yang dibutuhkannya. Kita
yang stabil memaksa agar ia bisa survival bertahan digaris keimanan. Sehingga
kita tidak merasa terlalu perlu untuk memberinya nasehat, atau motivasi-motivasi
keimanan. Sementara betapa ia butuh sentuhan-sentuhan perhatian kita.
Kita berpikir bahwa
suatu saat, kita akan hidup sendiri tanpa seorang ikhwah yang menemani disuatu
daerah. Sehingga kita mengira bahwa kita harus bersiap-siap untuk hal tersebut.
Maka ketika ada seorang yang futur, kita bersikap seolah-olah tidak peduli
padanya. Dan ketika dia benar-benar mengucapkan “Selamat Tinggal”, kita
meyalahkannya atas kelemahannya. Kita menyelamatkan diri atas kesalahan dari
futurnya saudara, dengan hiburan-hiburan bahwa ini adalah sunatudakwah.
Tidak sedikit
kisah-kisah futurnya ikhwah dari barisan ini setelah tarbiyah bertahun-tahun.
Bukan hal yang mengejutkan memang, ulama bahkan ada yang murtad, berganti
haluan, ustadz pun ada yang terjatuh,
saat tergiur dengan indahnya dunia. Kehilangan seorang yang telah memiliki
kepahaman dan mobilitas dakwah yang tinggi, apakah bisa diganti dengan masuknya
lima puluh orang baru dalam barisan ini, tanpa kepahaman dan aksi dakwah yang
mapan? Lepasnya seoarang kader produktif apakah bisa ditutupi dengan hiburan
bahwa lima puluh orang baru yang baru-baru mengikuti dauroh tahap awal, dengan
produktifitas dakwah yang masih nol?
Saudaraku, apakah orang
yang baru tarbiyah 1 atau 5 tahun telah bisa menyamai Ka’ab bin Malik ra? Nilai
keimanan memang tidak bisa di ukur dengan lamanya tarbiyah, namun kita bisa
melihat secara umum bagaimana kondisi keimanannya dengan parameter usia
interaksinya dengan dakwah. Apakah kita seorang yang baru setahun liqo dengan
sikapnya Musa As kepada Harun As saat beliau menarikk jenggor saudaranya? Atau
kita mencoba mengikuti marahnya Abu Bakar ra kepada Umar ra yang memilih jalur
‘lembut’ dalam menyikapi Musailamah dan orang-orang yang menolak zakat? Sekeras
itukah kita berprilaku terhadap seorang ikhwah. Dimana senyummu saat pertama
bertemu bersama dalam dakwah ini, dimana pelukmu seperti kepada adik-adikmu
yang baru masuk dalam aksi tarbiyah?
Kunjungilah saudaramu, ketika lama ia
tak menyapamu, smslah iasaat sang adik tidak pernah muncul-muncul dalam
pertemuan keimanan. Datangilah mereka yang lemah, mereka yang manja, tularkan
petuah-petuah juangmu. Apakah benar sudah saatnya mereka survival dalam menjaga
stabilitas keimanannya. Tidak, tidak ya ikhwah, cukuplah derai airmata ini,
cukuplah kesedihan hilangnya seorang ikhwah ‘berhenti’ sampai disini, dekaplah
dan tahanlah mereka yang hendak pergi.
Kuntum bunga boleh layu, namun rekahnya
bunga-bunga mujahid harus terjaga tetap hadir disebuah kebun…
Dunia ibarat sebuah terminal
Hanya tempat persinggahan
Bersabarlah hadapi ujian
Takkan lama kan tinggal
(Suara Persaudaraan) By Bumi Langit Sastra
0 comments