20 Januari
April 29, 2013
V
|
anela terlahir dari keluarga kurang mampu. Orang tuanya
hanya bekerja sebagai petani di sawah milik orang lain. Kakak laki-lakinya,
Valdian harus putus sekolah dan ikut orang tuanya bekerja di sawah. Sementara
adiknya, Veriska baru tahun depan akan masuk sekolah dasar.
Saat kelas dua SMA, ada satu
pelajaran yang sangat disukai dan menjadi hobi Vanela, yaitu tata busana. Akan
tetapi, hobinya yang satu ini sangat ditentang orang tuanya. Mereka selalu marah melihat Vanela
merancang busana. Oleh karena itu, Vanela melakukannya dekat sebuah danau yang cukup
jauh dari rumah dan ditemani seorang teman yang mempunyai hobi yang sama
dengannya.
Suatu hari ketika Vanela dan
temannya pulang dari danau, sebuah sepeda motor melaju kencang dan hampir
menabrak mereka berdua. Vanela mendorong temannya hingga terjatuh ke
semak-semak, sementara Vanela terlempar ke pinggir jalan dan kepalanya
membentur sebuah batu besar, tapi tidak sampai mengeluarkan darah.
“Kalian tidak apa-apa, Nak?”, tanya seorang laki-laki paruh
baya yang berdiri tepat di samping batu besar itu.
“Alhamdulillah tidak apa-apa, Pak”, jawab Vanela.
“Kami sedang dalam perjalanan menuju kampung istri saya”,
katanya sambil menunjuk seorang wanita yang menggendong bayi dekat sepeda
motornya. “Ini nomor hp saya. Kalau ada apa-apa, hubungi nomor ini. Maaf, kami
sedang terburu-buru karena sudah sore.”
“Baik, Pak”, jawab Vanela singkat.
Vanela
tidak langsung pulang ke rumahnya. Dia mampir ke rumah temannya terlebih
dahulu. Saat memasuki rumah mewah itu, mata Vanela langsung tertuju pada sebuah
foto keluarga yang dipajang rapi di dinding ruang tamu. Keluarga itu tampak
begitu bahagia dengan pakaian yang dibuat khusus dan seragam. Vanela
membayangkan kalau foto itu adalah foto keluarganya. Akan tetapi, pikiran itu cepat ditepisnya karena dengan
gaji yang hanya cukup untuk makan dan sekolah, orang tuanya tidak akan mampu
membuat foto keluarga sebagus dan sebesar itu. Dia hanya berharap suatu saat
nanti akan ada foto seperti itu di dinding ruang tamu rumahnya.
***
Vanela beruntung bisa melanjutkan
sekolah ke pergurua
n tinggi negeri di kota. Semua
kebutuhan kuliahnya ditanggung oleh orang tua temannya karena dari kecil Vanela
sudah dianggap sebagai anak mereka sendiri. Meskipun dia kuliah di jurusan
pendidikan biologi, Vanela tetap menekuni hobinya merancang busana.
Vanela medapati tubuhnya
terbaring di dalam ruangan yang di dalamnya serba putih yang biasa dia lihat di
rumah sakit.
“Tadi kamu pingsan saat merancang baju-baju itu”, jelas
seorang teman kosnya. Akhir-akhir ini Vanela sering menghabiskan waktu luangnya
untuk merancang busana seragam untuk foto keluarga. Dia juga menyimpan sebagian
uang jajannya untuk menjahit baju hasil rancangannya dan biaya foto.
“Tadi dokter pesan, kalau kamu sudah sadar, berikan nomor
orang tuamu ke dokter karena ada yang ingin dibicarakan”, jelas temannya yang
lain. Vanela mulai berpikir bahwa pasti ada sesuatu yang disembunyikan sehingga
dokter meminta nomor telepon orang tuanya. Tiba-tiba terpikir olehnya nomor
laki-laki yang dulu hampir menabrak dia dan temannya.
“Halo! Bisa bicara dengan bapak Hartono?”
“Iya. Saya sendiri. Saya berbicara dengan siapa?”
“Saya Vanela, anak yang hampir Bapak tabrak dua tahun lalu
di desa Lawengan. Saya sekarang berada di rumah sakit”, ungkap Vanela.
“Di rumah sakit? Ada apa, Nak? Apa ada hubungannya dengan
kejadian itu?”, tanya pak Hartono khawatir.
“Ada Pak, saya menderita suatu penyakit karena kejadian itu.
Dokter bilang akan melaporkan ke polisi apabila saya mau mengatakan siapa
pelakunya”, jawab Vanela bohong.
“Jangan, Nak. Bapak mohon. Apa tidak ada cara lain?”
“Ada Pak. Saya tidak akan memberitahunya dengan syarat Bapak
mau berpura-pura menjadi orang tua saya pada dokter. Setelah dokter menghubungi
Bapak nanti, saya minta langsung
jelaskan apa yang dikatakan dokter tentang saya”, kata Vanela dengan nada
mengancam.
Air mata
Vanela mengalir deras mengingat apa yang dikatakan orang tua palsunya itu. Ada
sebuah benjolan di otaknya yang apabila tidak segera dibuang maka benjolan itu
akan pecah yang menyebabkan kematian. Itu hanya bertahan paling lama dua bulan
ke depan.
***
Kemungkinan
bertahan paling lama dua bulan ke depan. Dokter mengatakan itu pada tanggal 21
November. Berarti hidupnya akan berakhir pada tanggal 20 Januari tahun depan.
Sementara sekarang tanggal 22 November, berati Vanela punya waktu satu bulan
dua puluh sembilan hari lagi. Vanela segera mengambil hasil rancangannya dan
berlari mencari angkot menuju ke tempat
penjahit pakaian.
“Tiga bulan?”, Vanela terkejut mendengar kata tukang jahit.
“Apa tidak bisa lebih cepat buk? Mungkin sebulan?”
“Bisa saja menyelesaikannya lebih cepat, Mbak. Tapi Mbak
harus mengurangi bagian-bagian rumit dari rancangan ini”, tukang jahit menunjuk
bagian yang dimaksud.
“Baiklah, bagian yang itu dihilangkan saja Buk.”
“Kalau begitu, jahitannya bisa selesai kurang dari dua
bulan.”
“Baiklah, tapi tolong usahakan secepatnya Buk”, kata Vanela
penuh harap.
“Insya Allah”, kata si tukang jahit itu pendek.
***
Vanela
tidak pernah memeriksakan kepalanya ke dokter. Pertama untuk menghemat uang.
Kedua karena dia takut dokter akan mengatakan hal yang lebih buruk lagi. Oleh
Karen itu, semakin hari kepalanya semakin sakit, tetapi dia menahan sampai
waktunya tiba.
Pada
tanggal 15 Januari, Vanela melihat hasil jahitannya. Tapi tukang jahit bilang
bahwa jahitannya belum selesai. Pada tanggal 18, Vanela kembali lagi.
“Mungkin dua hari lagi bisa selesai, Mbak”, jelas si tukang
jahit.
“Dua hari? Saya butuh pakaian ini besok pagi Buk”
“Ada satu baju dan satu rok lagi yang akan diselesaikan,
Mbak.”
“Kalu roknya tidak jadi, apa bisa baju itu selesai sampai
besok pagi Buk?”, tanya Vanela penuh harap.
“Insya Allah. Saya usahakan Mbak. Kalau begitu, Mbak ke sini
lagi besok setelah zuhur.”
“Baik, Buk”, katanya sambil melangkah ke luar dari tempat
jahit itu.
***
Siang itu matahari cukup
bersahabat. Vanela melangkahkan kakinya sambil tersenyum menuju ke tempat
tukang jahit. Hari itu tidak ada rasa sakit sedikitpun di kepalanya. Semuanya
terasa biasa saja seperti tidak pernah terjadi sesuatu di kepalanya. Sebenarnya
masih ada dua hari lagi kuliah sebelum libur, tapi Vanela mau menghabiskan
waktu singkatnya untuk hal yang ditunggu-tunggunya sejak lama.
“Ini, Mbak.”
“Terima kasih, Buk.”. Setelah membayar upah jahit, Vanela
langsung ke terminal bus untuk pulang ke kampung halamannya.
Butuh waktu
lama untuk membujuk orang tuanya. Dengan
berbagai alasan yang sebagian dikarang-karangnya, akhirnya orang tuanya mau
melakukan permintaan Vanela.
***
Pukul 05.00
WIB, Vanela terbangun dan langsung mengambil air wudhu. Setelah shalat, Vanela
berdo’a.
“Ya Allah, hamba tidak menyalahkan takdir-Mu. Dokter bilang
hamba hanya bisa bertahan paling lama dua bulan. Jika benar hari ini akhir
hidup hamba maka berilah kesempatan kepada hamba untuk mewujudkan keinginan
hamba dan membahagiakan orang tua hamba serta meminta maaf kepada mereka. Berilah kesempatan kepada
hamba untuk mengucapkan terima kasih atas apa yang telah mereka berikan dan
mengatakan bahwa hamba sangat mencintai mereka. Ketika hamba tidak lagi bersama mereka nanti, jangan
biarkan mereka larut dalam kesedihan. Jagalah mereka ya Allah, lindungilah
mereka. Amin Ya Rabbal Alamin”. lalu Vanela berdiri dan pergi ke kamar orang
tuanya.
“Ayah, Bunda, kita ngaji bersama-sama yuk. Terakhir kita
ngaji bersama itu waktu Vanela kelas tiga SMP. Itu sudah lama sekali.”. Kemudian mereka mengaji bersama. Setelah
mengaji, Vanela mengajukan permintaan lagi.
“Ayah, Bunda, Vanela boleh memeluk Ayah sama Bunda?”,
tanyanya manja.
“Iya sayang. Bunda juga sudah lama tidak memeluk anak
kesayangan bunda”, kata bunda sambil memeluk erat anaknya.
“Kamu sekarang sudah dewasa. Sebentar lagi akan menikah.
Kita sebentar lagi akan menimang cucu, Bun.”, kata ayah mencandai Vanela yang
kemudian memeluknya.
“Maaf Ayah, Bunda. Keinginan kalian yang satu itu tidak bisa
Vanela wujudkan. Ayah dan Bunda tidak akan pernah melihat suami Vanela. Ayah
dan Bunda tidak akan pernah melihat anak-anak Vanela. Karena Ayah dan Bunda
tidak akan pernah melihat Vanela lagi”, kata Vanela dalam hati.
***
Vanela memilih sendiri lokasi
fotonya. Dia membawa keluarganya serta seorang photographer ke sebuah danau di mana dia merancang busana bersama
temannya dulu.
“Satu, dua, tiga, senyum”, kata sang photographer. “Bagus. Kita ambil dua foto lagi.”
Setelah
mengambil beberapa foto, sang photographer
berbincang-bincang dengan kakak laki-laki Vanela. Lalu Vanela memanggil kakak
laki-lakinya dan anggota keluarganya yang lain.
“Ayah, Bunda, terima kasih sudah merawat Vanela dari kecil.
Kak Valdian, terima kasih sudah melindungi Vanela selama ini. Adik kakak yang
cantik, Veriska, makasi ya sudah menghibur kakak setiap hari. Vanela senang
punya Ayah, Bunda, Kakak, dan Adik yang baik seperti kalian. Vanela sayang
kalian”, Vanela memeluk mereka.
“Kami juga sayang padamu, Anakku.”, kata bunda sambil
mencium Vanela. Tiba-tiba tubuh Vanela menjadi sangat lemah. Sang bunda
merangkul dan memeluknya dengan erat. Semuanya cemas. Akhirnya Vanela
menghembuskan nafas terakhir di pangkuan sang bunda pada tanggal 20 Januari di
tepi danau itu. 20 Januari yang indah baginya karena hari itu dia bisa mengaji
bersama orang tuanya, memeluk orang tua serta adik dan kakak laki-lakinya, dan
mengatakan bahwa dia sangat menyayangi mereka. 20 Januari, hari yang
ditunggu-tunggu untuk mewujudkan semua keinginannya. 20 Januari yang akan
selalu diingat oleh orang-orang yang mencintainya. Pada 20 Januari, Vanela
pergi untuk selamanya.
***
Sebingkai foto keluarga telah terpajang
di sebuah ruang tamu. Lima tahun kemudian, ketika semua keluarga berkumpul di
ruang tamu, seorang cucu bertanya, “ Foto siapa itu, Nek ?, sambil menunjuk
pada foto seorang perempuan yang cantik. Semua terdiam, hanya air mata yang
menetes di ruangan itu. Tetesan air mata pula yang menjawab pertanyaan seorang
cucu tadi, anak Valdian.
0 comments